Entri Populer

Sabtu, 12 Maret 2011

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2011

JAKARTA--MICOM: Bank Indonesia memproyeksikan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia 2011 berada pada kisaran 6,3-6,5 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan pada 2010.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh pada kisaran 6,3-6,5 persen, dengan tingkat inflasi berada pada posisi 5 persen, plus minus 1 persen," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono, saat menyampaikan paparan pada "Seminar Outlook Ekonomi 2011", yang diselenggarakan Antara di Jakarta, Rabu.

Menurut Hartadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih besar dibanding 2010, tercermin dari pertumbuhan pada kuartal IV yang mencapai 6,1 persen dan pada kuartal III sebesar 5,8 persen.

Ia menjelaskan, salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan pada kuartal III dan IV 2010 adalah masih lambatnya penyerapan belanja pemerintah. Hartadi menambahkan, untuk mencapai pertumbuhan pada 2011, pemerintah harus mampu memperlambat derasnya arus modal baik yang masuk ke dalam negeri maupun ke luar negeri.

"Pada sisi arus masuk modal (capital inflow) ke dalam negeri harus dijaga, jangan sampai terlalu besar masuk ke instrumen SBI (Sertifikat Bank Indonesia), karena SBI merupakan instrumen moneter bukan instrumen investasi," ujarnya.

Kalaupun ada likuiditas yang berlebih sebaiknya harus didukung dengan kebijakan pemerintah yang dapat mendorong penyerapan oleh sektor riil.

Menurutnya, arus modal yang masuk mencapai US$16 miliar, di mana sekitar 10 persen di antaranya sudah masuk ke SBI.

Ia mengakui, SBI merupakan salah satu target investor karena masih memberikan margin yang cukup aktraktif, ditandai dengan banyaknya short term capital yang masuk ke instrumen tersebut.

Pada posisi seperti itu, terdapat tiga kondisi yang dihadapi yaitu, BI tidak bisa terlalu cepat menurunkan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), karena akan berdampak pada inflasi. BI berupaya memperpanjang jatuh tempo SBI dan mengalihkan instrumen SBI ke deposito berjangka (time deposit).

"Selama 2010 pemerintah telah berhasil memperlambat masuknya dana ke SBI, dan mengahlihkannya ke SBN (surat berharga negara)," ujarnya.

Ia juga menjelaskan, untuk mencapai pertumbuhan 2011 diharuskan ada bauran kebijakan yang dapat menyerap giro wajib minimum tanpa mengubah tingkat suku bunga.

Senada dengan Hartadi, Staf Ahli Menteri Perekonomian Bidang Investasi, Kemitraan Pemerintah dan Swasta, Djatmiko juga menuturkan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh dengan laju 6,3 persen.

Pertumbuhan ekonomi akan didukung kondisi ekonomi makro yang stabil pada 2010 akan mendorong prospek ekonomi yang cerah dan akan direspon positif oleh investor.

"Minat investor terhadap surat utang negara masih akan terus meningkat, akibatnya nilai transaksi akan naik signifikan dengan yield 5 tahun turun menjadi di bawah 8 persen," kata Djatmiko.

Ia melanjutkan, konsumsi rumah tangga akan memberi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2011 sekitar 58,6 persen. Kinerja ekspor dan impor juga meningkat seiring dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global dan menguatnya permintaan dalam negeri.

"Ekspor Indonesia masih memiliki daya saing meski nilai tukar rupiah cenderung menguat. Sehingga pada 2011, ekspor akan memberi konstribusi terhadap PDB sekitar 25,4 persen dan impor sebesar 23 persen," ujarnya. Sumber Media Indonesia

Jumat, 11 Maret 2011

Manajemen Keuangan Internasional: MNC


            Perusahaan-perusahaan secara berkesinambungan menciptakan dan menerapkan strategi-strategi baru untuk memperbaiki arus kas mereka dalam rangka meningkatkan kekayaan pemegang saham. Sejumlah strategi mengharuskan dilakukannya ekspansi dalam pasar local. Strategi-strategi lain mengharuskan penetrasi ke dalam pasar asing. Pasar luar negeri bisa sangat berbeda dari pasar lokal. Pasar luar negeri menciptakan kesempatan timbulnya peningkatan arus kas perusahaan.
            Banyaknya hambatan masuk ke dalam pasar luar negeri yang telah dicabut atau berkurang, mendorong perusahaan-perusahaan untuk memperluas perdagangan internasional. Konsekuensinya, banyak perusahaan nasional berubah menjadi perusahaan multinasional (multinasional corporation) yang didefinisikan sebagai perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam suatu bentuk bisnis internasional.
            Tujuan MNC sendiri secara umum adalah memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Penentuan tujuan sangat penting bagi sebuah MNC, karena semua keputusan yang akan dilakukan harus memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan tersebut. Setiap usulan kebijakan korporasi tidak hanya perlu mempertimbangkan laba potensial, tetapi juga risiko-risikonya. Sebuah MNC harus membuat keputusan-keputusan berlandaskan tujuan yang sama dengan tujuan perusahaan domestik murni. Tetapi di sisi lain, perusahaan MNC memiliki kesempatan yang jauh lebih luas, yang membuat keputusannya menjadi lebih kompleks.
            Proses pencapaian tujuan tidak lepas dari hambatan atau kendala yang akan menghalangi pencapaian tujuan tersebut. MNC sebagai sebuah perusahaan yang beroperasi di banyak negara harus mampu melimpahkan wewenang kepada manajer anak perusahaan yang ada di luar negeri. Biaya dari kondisi ini dikenal dengan nama agency cost.   Agency cost pada perusahaan MNC lebih besar daripada agency cost pada perusahaan domestik. Perbedaan ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti, sulitnya memonitor manajer-manajer dari anak-anak perusahaan yang letaknya jauh dari negara asal. Manajer-manajer anak perusahaan luar negeri yang tumbuh dalam budaya yang berbeda mungkin tidak mau mengejar tujuan yang seragam. Besarnya ukuran dari perusahaan multinasional raksasa juga menciptakan agency cost yang besar.
            Besarnya agency cost bervariasi menurut gaya manajemen suatu perusahaan multinasional. Gaya manajemen terpusat bias mengurangi agency cost karena gaya semacam ini memungkinkan manajer-manajer perusahaan induk untuk mengontrol anak perusahaan di luar negeri, sehingga mengurangi kekuasaan manajer-manajer anak perusahaan. Akan tetapi, manajer-manajer perusahaan induk mungkin tidak sebaik manajer-manajer anak perusahaan karena manajer-manajer perusahaan induk kurang memiliki pengetahuan tentang lingkungan anak perusahaan. Sebaliknya, gaya manajemen terdesentralisasi bias menimbulkan agency cost yang lebih besar jika manajer-manajer anak perusahaan membuat keputusan-keputusan yang tidak dilandasi oleh tujuan memaksimumkan nilai perusahaan induk secara keseluruhan. Gaya manajemen ini memiliki kelebihan lain, yaitu dekatnya manajer-manajer anak perusahaan ke operasi dan lingkungan anak perusahaan.
            Adanya untung-rugi dari pemakaian salah satu gaya manajemen di atas, sejumlah perusahaan multinasional berupaya untuk memanfaatkan keunggulan dari kedua gaya manajemen tersebut. Perusahaan induk memperbolehkan manajer-manajer anak perusahaan membuat keputusan-keputusan penting mengenai operasi mereka sendiri, tetapi tetap dimonitor oleh manajemen perusahaan induk untuk menjamin agar keputusan-keputusan tersebut harmonis dengan tujuan perusahaan induk.
Selain agency cost, ada beberapa kendala yang dialami oleh perusahaan MNC seperti, kendala lingkungan, kendala regulatori, dan kendala etika. Kendala lingkungan dapat dilihat dari perbedaan karakteristik tiap negara. Kendala regulatori berupa perbedaan peraturan setiap negara yang ada seperti, pajak, aturan-aturan konversi valuta, serta peraturan-peraturan lain yang dapat mempengaruhi arus kas anak perusahaan. Kendala etika sendiri digambarkan sebagai suatu praktek bisnis yang berbeda-beda di tiap negara.
MNC, dalam melakukan bisnis internasionalnya, secara umum dapat menggunakan metode-metode berikut.
1.      Perdagangan internasional
2.      Licensing
3.      Franchising
4.      Usaha patungan
5.      Akuisisi perusahaan
6.      Pembentukan anak perusahaan baru di luar negeri
Metode-metode bisnis internasional meminta investasi langsung dalam operasi-operasinya di luar negeri atau lebih dikenal dengan sebutan Direct Foreign Invesment. Perdagangan internasional dan pemberian lisensi biasanya tidak dianggap sebagai DFI karena keduanya tidak melibatkan investasi langsung dalam operasi di luar negeri. Franchising dan usaha patungan cenderung meminta investasi langsung, tetapi dalam jumlah relatif kecil. Akuisisi dan pendirian anak perusahaan baru merupakan elemen DFI yang paling besar.
Berbagai peluang serta keuntungan sebuah MNC tidak lepas dari risiko yang akan muncul. Walaupun bisnis internasional dapat mengurangi exposure sebuah MNC terhadap kondisi-kondisi ekonomi negara asalnya, bisnis internasional biasanya juga meningkatkan exposure MNC terhadap pergerakan nilai tukar, kondisi ekonomi luar negeri, dan risiko politik. Sebagian besar bisnis internasional meminta pertukaran satu valuta dengan valuta yang lain untuk melakukan pembayaran. Karena nilai tukar terus berfluktuasi, jumlah kas yang dibutuhkan untuk melakukan pembayaran juga tidak pasti. Konsekuensinya, jumlah unit valuta negara asal yang dibutuhkan untuk membayar bisa berubah walaupun pemasoknya tidak mengubah harga. Selain itu, ketika perusahaan multinasional memasuki pasar asing untuk menjual produk, permintaan atas produk tersebut tergantung pada kondisi-kondisi ekonomi dalam pasar tersebut. Jadi, arus kas perusahaan multinasional dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ekonomi luar negeri. Risiko potik sendiri muncul pada saat perusahaan multinasional membentuk anak perusahaan di Negara lain, mereka terbuka terhadap risiko politik, yaitu tindakan-tindakan politik yang diambil oleh pemerintah yang dapat mempengaruhi arus kas perusahaan.

Data Persentase Penduduk Miskin Tiap Provinsi

                             Data Persentase Penduduk Miskin Tiap Provinsi 
Provinsi      Tahun 2007    Tahun 2008    Tahun 2009      Tahun 2010
Penduduk Miskin (%) Penduduk Miskin (%) Penduduk Miskin (%) Penduduk Miskin (%)
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
NAD 18,68 29,87 16,67 26,30 15,44 24,37 14.65 23.54
Sumatera Utara 14,21 13,63 12,85 12,29 11,45 11,56 11.34 11.29
Sumatera Barat 9,78 13,01 8,30 11,91 7,5 10,6 6.84 10.88
Riau 9,53 12,9 9,12 12,16 8,04 10,93 7.17 10.15
Jambi 15,42 7,81 13,28 7,43 12,71 6,88 11.80 6.67
Sumatera Selatan 20,3 18,43 18,87 17,01 16,93 15,87 16.73 14.67
Bengkulu 23 21,66 21,95 19,93 19,16 18,28 18.75 18.05
Lampung 18,11 23,7 17,85 22,14 16,78 21,49 14.30 20.65
Bangka Belitung 8,09 10,87 7,57 9,52 5,86 8,93 4.39 8.45
Kepulauan Riau 10,08 10,54 8,81 9,60 7,63 8,98 7.87 8.24
DKI Jakarta 4,61 - 4,29 - 3,62 - 3.48 -
Jawa Barat 11,21 16,88 10,88 16,05 10,33 14,28 9.43 13.88
Jawa Tengah 17,23 23,45 16,34 21,96 15,41 19,89 14.33 18.66
DI Yogyakarta 15,63 25,03 14,99 24,32 14,25 22,6 13.98 21.95
Jawa Timur 14,71 25,02 13,15 23,64 12,17 21 10.58 19.74
Banten 6,79 12,52 6,15 11,18 5,62 10,7 4.99 10.44
Bali 6,01 7,47 5,70 6,81 4,5 5,98 4.04 6.02
Nusa Tenggara Barat 30,44 21,06 29,47 19,73 28,84 18,4 28.16 16.78
Nusa Tenggara Timur 16,41 29,95 15,50 27,88 14,01 25,35 13.57 25.10
Kalimantan Barat 11,45 13,47 9,98 11,49 7,23 10,09 6.31 10.06
Kalimantan Tengah 6,72 10,76 5,81 10,20 4,45 8,34 4.03 8.19
Kalimantan Selatan 6,01 7,72 5,79 6,97 4,82 5,33 4.54 5.69
Kalimantan Timur 7,44 16,98 5,89 15,47 4 13,86 4.02 13.66
Sulawesi Utara 8,31 13,8 7,56 12,04 8,14 11,05 7.75 10.14
Sulawesi Tengah 12,86 24,97 11,47 23,22 10,09 21,35 9.82 20.26
Sulawesi Selatan 6,18 17,87 6,05 16,79 4,94 15,81 4.70 14.88
Sulawesi Tenggara 6,24 25,84 5,29 23,78 4,96 23,11 4.10 20.92
Gorontalo 11,08 34,76 9,87 31,72 7,89 32,82 6.29 30.89
Sulawesi Barat 16,53 20,29 14,14 18,03 12,59 16,65 9.70 15.52
Maluku 14,49 37,02 12,97 35,56 11,03 34,3 10.20 33.94
Maluku Utara 4,29 15,22 3,27 14,67 3,1 13,42 2.66 12.28
Irian Jaya Barat 7,14 48,82 5,93 43,74 5,22 44,71 5.73 43.48
Papua 7,97 50,47 7,02 45,96 6,1 46,81 5.55 46.02
Sumber: BPS, diolah

Program Pengentasan Kemiskinan

Enam program pengentasan kemiskinan yang disebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak menyentuh akar permasalahan. Menurut Ekonom Econit Hendri Saparini, RI-1 terjebak dalam paradigma membuat program tanpa memikirkan strategi untuk menjalankan program itu sendiri.
“Enam program itu mencerminkan kesalahan pemerintah dalam memandang kemiskinan. Presiden terlalu sibuk membuat program ini itu tanpa mengeluarkan strategi untuk menuntaskan program itu sendiri,” kata Hendri ketika dihubungi Media Indonesia, Selasa (22/2) malam.
Ketidakseriusan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, tambahnya, terlihat pada masih tingginya harga pangan di Tanah Air. Hendri menilai harga pangan merupakan permasalahan paling riil yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan. Namun untuk urusan ini pemerintah malah menyerahkan harga pangan ke tangan pelaku pasar. Pun soal kebijakan masa lalu seperti bantuan beras raskin, BLT, BOS, dan PNPM juga hanya berhenti di tataran program saja namun tidak menjadi solusi pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, Hendri mendesak pemerintah untuk terlebih dahulu melakukan kontrol harga dan menyerap beras petani untuk meningkatkan taraf hidup.
“Solusi pengentasan kemiskinan bukan berapa banyak beras raskin yang disubsidi, tapi adanya perubahan di sektor pangan seperti kemampuan pemerintah mengontrol harga dan menyerap beras petani,” tandas Hendri. Tidak efektifnya program-program pengentasan kemiskinan juga terlihat dari anggaran dan realisasi pengentasan kemiskinan itu sendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia mencapai 35 juta jiwa dan dana yang digunakan untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp63 triliun. Setahun kemudian dana pengentasan kemiskinan mencapai Rp66, 2 triliun sementara jumlah penduduk miskin hanya berkurang menjadi 32,5 juta jiwa. Sedangkan pada 2010 lalu, dana pengentasan kemiskinan naik lagi hingga Rp80,1 triliun, namun jumlah penduduk miskin tetap tinggi yakni sebesar 31 juta jiwa. Dengan kata lain, penambahan dana sebesar Rp18 triliun selama dua tahun terakhir hanya bisa menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,1%, dari 15,4% pada 2008 menjadi 13,3% pada 2010.